LAGU PENYAIR
aku jadi ragu apakah
jarak yang mengkanvaskan kita
pada kenyataan
dan rerumputan mati, dedaunan bisu
sementara burung-burung enggan bernyanyi
bunga ilalang luruh sendiri
dan aku jadi ragu
benarkah jarak yang memenjara kita
dari kenyataan-kenyataan
yang diputarbalik
di ujung pena kita sendiri
ah, rintihku
(pada siapa?)
padahal alam enggan jadi pertanda
dan diam-diam
mulai pula belajar dusta
Bandung, 1989
TAMAN KAMPUS WAKTU MALAM
— Universitas kita ...
sejenak sepi menyergap
di jalanan lengang bekas hujan
lampu redup
dan tunas-tunas tumbuh
di semak-semak belukar
liar dan beraneka ragam
desir suara satu-satu
lenyap di ujung gardu jaga
kesibukan bermacam-macam suara
sudah usai
entah untuk kembali lagi
atau, cuma jadi mimpi indah
kita semua
taman malam hari
tempat tumbuh bermacam bunga
akan indah di keesokan pagi
dengan matahari
dan kupu-kupu mencari madu
(malam, suara desir satu-satu
lenyap di lampu redup ujung jalanan
tunas-tunas pun tumbuh di bekas hujan
liar dan beraneka ragam!)
Bandung, 90
DI TEPI MUSI
kita ingin bernyanyi
lagu apa saja tentang air yang mengalir
dan hutan-hutan yang berjajar di hulu
di mana banyak cerita dalam dongeng terjadi
kita ingin sekali mendengar
dunia peri-peri dengan alam berseri
cuaca hijau penuh tumbuhan dan
alam segar
(itu bunyi cerita nenek
di masa kecil dulu)
sekali lagi dendang berhiliran
seperti waktu berlarian
: tak terhentikan!
kilat minyak telah ke hilir
bersama buih, dan air
berubah warna
di hulu pohon bernyanyi tanpa suara
lagu-lagu perkabungan mengiringi
pokok-pokok kayu menghilir ke kota-kota
untuk lapuk dan tua bersama cuaca
kita lelah merenungkan sungai yang barangkali sekejap lagi
tak ada di sini
hutan-hutan yang rebah bersama, menuju kota-kota
(sedang nenek pun enggan lagi mendongeng
: sudah banyak yang terlupa, cucuku
lapuk dan tua bersama cuaca)
Palembang, 90
KERAMAIAN AKHIR TAHUN
suara-suara makin samar
di tepi kaca jendela
lalu lalang manusia
tak sadar hendak ke mana
sunyi menikamku tepat
di tengah keramaian akhir tahun
hiruk-pikuk pasar perbelanjaan
entah mengapa tak berarti
seperti kukenal sebuah taman
yang hilang dan tanpa bunyi-bunyian
(kita memang sendiri!)
sunyi tepat menikamku
di akhir tahun yang kurasa panjang
dan menjemukan
(kita memang sendiri!)
Bandung, 12-90
HUTAN LARANGAN
pagi berjalan dalam hutan yang berkaca
panas menerobos pucuk-pucuknya\
memantul dan jatuh di tanah
yang keras
gemericik air lenyap ditelan
asap yang mengabut ke udara
pagi dalam hutan yang berwarna
berkilap ketika
matahari jatuh dalam air
yang dikolamkan
dan anak-anak cuma tertegun
menyaksikan kenangan, air yang memancar
kerinduan pada masa silam leluhurnya
pagi dalam hutan
dan kolam terlarang
semua bersicepat bersama dunia
berputar
dan anak-anak berlarian di hutan
dalam kolam di taman, air yang memancar
dalam kenangan
Jakarta, 09-92
MEMO
Ibu,
aku sedang berjalan
dalam kaca teve dan berita koran
ketika cuaca begitu gelapnya
dan ombak tercemar muntahan
peperangan
langit yang merah terbakar
cerita tentang dendam yang silam
tiap saat menyambar
seperti elang mencari sasaran
aku mengkhayalkan kedamaian rembulan
dalam dongeng Ibu
kudengar jua pesan-pesan
“ini bumi kita, anakku”
cintailah selalu
dan jangan buat kehancuran
di atasnya
nyatanya, Ibu
telah kami buat juga perkelahian
sesama saudara
dan cuaca telah disesakkan
dendam
— sejak Kabil dan Habil!
Bandung, 12-02-91
TANJUNG PRIOK, TAHUN 1992
air yang mengalir
dalam sungai-sungai dan selokannya
menghitam begitu saja
(anak-anak berlarian dalam panas
kulitnya berkerak:
luka dan lumpur)
kota telah mengirimkan sampah
plastik dan minyak
peradaban gemerlap yang
di sini cuma terasa bekasnya
(anak-anak menceburkan kepala
dalam banjir yang setia,
selalu gembira, apa adanya)
“Priok, kampungku yang sederhana
aku anak-anak yang tak pernah
lupa pada derit gerobak
pedagang air,
dan teriakan kesal ibu-ibu
karena sampah yang mengambang
dari permainan anak-anaknya”
panas yang telah menjadi bias
kini pengap karena asap
dan udara karbon yang menghambur
dari pembakaran kota-kota
Bandung, 92
DI THAMRIN, JAKARTA
aku ingin
menulis sebaris puisi saja
pada engkau hari ini
setelah sepanjang hari
berdiam dalam riuh rendah suasana
jalanan yang panas,
gemericik air mancur dan hijau
tanaman hias
yang lenyap dalam uap aspal
panas yang mengambang di udara
kota
aku ingin melagukan
sepenggal rayuan pada engkau
siang ini
di antara orang-orang melangkah tergesa
dengan dasi melambai ditiup angin,
bus yang tak pernah berhenti,
dan lalu lalang tanpa henti
aku ingin sekali
menorehkan sekadar sapaan
pada suasana yang telanjur
tergesa dan lupa
pada engkau yang terpesona
di sisi jalan
kota
Bandung, 11-08-92
KAMPUNGKU SUKASARI
kampungku Sukasari
kecil jalan-jalannya
disemen dan aspal berkali-kali
jika hujan air berkilat dan
meluap keluar dari saluran bawah jalanan
kampungku Sukasari padat penghuni
rumah-rumahnya berpetak sangkar merpati
disusun di atas tanahan tinggi
kampungku Sukasari tak pernah sepi
anak-anak berteriak pulang sekolah
main di jalan dan pekarangan yang sempit
remaja bergitar, rokok, dan lagu-lagu
mengisi malam-malam kampungku Sukasari
kampungku Sukasari padat penghuni
tak pernah sepi, tak pernah mati
Bandung 22-11-92
Dua Kumpulan Sajak Ready Susanto (Versi Blog)
Monday, March 5, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment