Dua Kumpulan Sajak Ready Susanto (Versi Blog)

Monday, March 5, 2007

LAGU PENYAIR

aku jadi ragu apakah
jarak yang mengkanvaskan kita

pada kenyataan

dan rerumputan mati, dedaunan bisu

sementara burung-burung enggan bernyanyi

bunga ilalang luruh sendiri


dan aku jadi ragu

benarkah jarak yang memenjara kita

dari kenyataan-kenyataan

yang diputarbalik

di ujung pena kita sendiri


ah, rintihku

(pada siapa?)

padahal alam enggan jadi pertanda

dan diam-diam

mulai pula belajar dusta


Bandung, 1989



TAMAN KAMPUS WAKTU MALAM
Universitas kita ...

sejenak sepi menyergap

di jalanan lengang bekas hujan

lampu redup

dan tunas-tunas tumbu
h
di semak-semak belukar

liar dan beraneka ragam


desir suara satu-satu

lenyap di ujung gardu jaga

kesibukan bermacam-macam suara

sudah usai

entah untuk kembali lagi

atau, cuma jadi mimpi indah

kita semua


taman malam hari

tempat tumbuh bermacam bunga

akan indah di keesokan pagi

dengan matahari

dan kupu-kupu mencari madu

(malam, suara desir satu-satu

lenyap di lampu redup ujung jalanan

tunas-tunas pun tumbuh di bekas hujan

liar dan beraneka ragam!)


Bandung, 90





DI TEPI MUSI

kita ingin bernyanyi
lagu apa saja tentang air yang mengalir

dan hutan-hutan yang berjajar di hulu

di mana banyak cerita dalam dongeng terjadi

kita ingin sekali mendengar

dunia peri-peri dengan alam berseri

cuaca hijau penuh tumbuhan dan

alam segar

(itu bunyi cerita nenek

di masa kecil dulu)

sekali lagi dendang berhiliran

seperti waktu berlarian

: tak terhentikan!

kilat minyak telah ke hilir

bersama buih, dan air

berubah warna

di hulu pohon bernyanyi tanpa suara

lagu-lagu perkabungan mengiringi

pokok-pokok kayu menghilir ke kota-kota

untuk lapuk dan tua bersama cuaca

kita lelah merenungkan sungai yang barangkali sekejap lagi

tak ada di sini

hutan-hutan yang rebah bersama, menuju kota-kota

(sedang nenek pun enggan lagi mendongeng

: sudah banyak yang terlupa, cucuku

lapuk dan tua bersama cuaca)


Palembang, 90




KERAMAIAN AKHIR TAHUN

suara-suara makin samar
di tepi kaca jendela

lalu lalang manusia

tak sadar hendak ke mana


sunyi menikamku tepat

di tengah keramaian akhir tahun

hiruk-pikuk pasar perbelanjaan

entah mengapa tak berarti

seperti kukenal sebuah taman

yang hilang dan tanpa bunyi-bunyian

(kita memang sendiri!)


sunyi tepat menikamku

di akhir tahun yang kurasa panjang

dan menjemukan

(kita memang sendiri!)


Bandung, 12-90





HUTAN LARANGAN

pagi berjalan dalam hutan yang berkaca
panas menerobos pucuk-pucuknya
\
memantul dan jatuh di tanah

yang keras

gemericik air lenyap ditelan

asap yang mengabut ke udara


pagi dalam hutan yang berwarna

berkilap ketika

matahari jatuh dalam air

yang dikolamkan

dan anak-anak cuma tertegun

menyaksikan kenangan, air yang memancar

kerinduan pada masa silam leluhurnya


pagi dalam hutan

dan kolam terlarang

semua bersicepat bersama dunia

berputar

dan anak-anak berlarian di hutan

dalam kolam di taman, air yang memancar

dalam kenangan


Jakarta, 09-92




MEMO

Ibu,
aku sedang berjalan

dalam kaca teve dan berita koran

ketika cuaca begitu gelapnya

dan ombak tercemar muntahan

peperangan

langit yang merah terbakar

cerita tentang dendam yang silam

tiap saat menyambar

seperti elang mencari sasaran


aku mengkhayalkan kedamaian rembulan

dalam dongeng Ibu

kudengar jua pesan-pesan

“ini bumi kita, anakku”

cintailah selalu

dan jangan buat kehancuran

di atasnya


nyatanya, Ibu

telah kami buat juga perkelahian

sesama saudara

dan cuaca telah disesakkan

dendam

— sejak Kabil dan Habil!


Bandung, 12-02-91




TANJUNG PRIOK, TAHUN 1992

air yang mengalir
dalam sungai-sungai dan selokannya

menghitam begitu saja

(anak-anak berlarian dalam panas

kulitnya berkerak:

luka dan lumpur)


kota telah mengirimkan sampah

plastik dan minyak

peradaban gemerlap yang

di sini cuma terasa bekasnya

(anak-anak menceburkan kepala

dalam banjir yang setia,

selalu gembira, apa adanya)


“Priok, kampungku yang sederhana

aku anak-anak yang tak pernah

lupa pada derit gerobak

pedagang air,

dan teriakan kesal ibu-ibu

karena sampah yang mengambang

dari permainan anak-anaknya”


panas yang telah menjadi bias

kini pengap karena asap

dan udara karbon yang menghambur

dari pembakaran kota-kota


Bandung, 92



DI THAMRIN, JAKARTA

aku ingin
menulis sebaris puisi saja

pada engkau hari ini

setelah sepanjang hari

berdiam dalam riuh rendah suasana

jalanan yang panas,

gemericik air mancur dan hijau

tanaman hias

yang lenyap dalam uap aspal

panas yang mengambang di udara

kota


aku ingin melagukan

sepenggal rayuan pada engkau

siang ini

di antara orang-orang melangkah tergesa

dengan dasi melambai ditiup angin,

bus yang tak pernah berhenti,

dan lalu lalang tanpa henti


aku ingin sekali

menorehkan sekadar sapaan

pada suasana yang telanjur

tergesa dan lupa

pada engkau yang terpesona

di sisi jalan

kota


Bandung, 11-08-92




KAMPUNGKU SUKASARI

kampungku Sukasari
kecil jalan-jalannya

disemen dan aspal berkali-kali

jika hujan air berkilat dan

meluap keluar dari saluran bawah jalanan


kampungku Sukasari padat penghuni

rumah-rumahnya berpetak sangkar merpati

disusun di atas tanahan tinggi

kampungku Sukasari tak pernah sepi
anak-anak berteriak pulang sekolah

main di jalan dan pekarangan yang sempit

remaja bergitar, rokok, dan lagu-lagu

mengisi malam-malam kampungku Sukasari


kampungku Sukasari padat penghuni

tak pernah sepi, tak pernah mati


Bandung 22-11-92

No comments: