Perjalanan 1
“aku ingin kita tak di sini sekarang,” katamu
“aku ingin perjalanan selalu”
menatap aspal yang dilindas gerimis
kau tersenyum
seperti langit putih bersih
aku tertegun dalam kantuk
rerimbunan teh yang hijau
dan asap rokok sopir kita
(ah ah ah, kau)
aku pun ingin perjalanan selalu
Perjalanan 3
— Mey
ketika kucatat hari-hari tanpa tanggal
peristiwa-peristiwa, dalam bingkai ukuran postcard
kusimpan dalam lembar-lembar yang
kian kuning karena usia
ketika aku membukanya satu-satu
dengan kegembiraan selalu
teringat kawan-kawan yang pernah
tertawa bersama
gadis-gadis yang pernah berjalan bersama
orang-orang berjasa
yang diam beku dalam himpitan
kertas-kertas tua
ketika
kau goreskan ujung payungmu di basah aspal
(karena, tadi hujan cukup lebat)
“janganlah terlalu sentimentil,” ujarmu
peristiwa-peristiwa itu lalu baur
dalam cahaya matamu yang indah
dan detak-detak sepatu di sampingku
PPU, 30-04-88
Perjalanan 4
— Malam Ciater
sebenarnya aku telah kehabisan kata
bersama larut dan lampu-lampu
yang enggan bicara
tapi kidung Sunda yang pelan kau nyanyikan
seperti angin membelai kudukku
aku takut jatuh hati, pada tanah Sunda
pada wajah-wajah ramah di sekeliling lingkaran
dan kegembiraan yang memancar di situ
dalam ucapan, kita telah kehilangan kata demi kata
kecuali nyanyian Sunda, kugumamkan tanpa ragu
seperti gerimis dan hawa dingin
yang mengelus tubuh kita
Ciater, 08-06-88
Perjalanan 5
— Rini
yang kutemukan selain ombak dan pasir
adalah jejak-jejak kita
di pasir basah
bergandengan menyusuri buih
lalu hilang di pelataran karang
bukankah kutemukan mata yang berbinar-binar
menatap kerang dan kulit lokan
yang katanya bagus untuk sebuah untaian kalung
mungkin telah kulupa kata Gibran
"air pasang bakal menghapus jejakku”
jejak kita
seperti buih yang pecah dan hilang
ketika digenggam di antara jemari
Pangandaran, 26-06-88
Perjalanan 6
suatu saat kelak, barangkali kita mesti hadir lagi di sini
di antara pokok teh, hijau rumput,
bunga-bunga biru,
batu-batu, pondok, keheningan danau
dan syair angin tengah hari
suatu pagi kelak jika semua tinggal
samar-samar, dipilah waktu
hitungan kalender
masih bisakah tersenyum
“ini album dari hati yang paling dalam” (katamu)
bergambar siluet, pecahan matahari,
pantulan air, kayu bakar, kantuk
dan udara dingin yang menghangatkan
suatu hari kelak
bila warna-warna kabur
hanya harum rambut yang tinggal
Patengan, 10/11-12-88
Lagu Hijau
di sini pokok teh berlagu jua
sementara
dari
tentang gelagah-gelagah terbakar
dan panas yang kian menikam kepala
Citawa, 09-89
PeRcakapan Panen Padi
saat malam-malam panen padi
di sawah lampu-lampu menyala
petani-petani bekerja hingga lupa
kantuk dan sengatan serangga malam
nyamuk-nyamuk mengabut
tetapi panen bukan saatnya ditunda
besok masih ada hari lagi, Pak Tani!
ya, ya, ya
tapi, kini bukan saatnya suka-suka
dan lampu-lampu harus tetap menerangi
petak-petak sawah
di malam-malam panen seperti ini
mengapa pula, Pak Tani?
padi tak hendak pergi, tanah kita
surga petani
ya, ya, ya
hanya, kesempatan panen datang sekali
sawah bukan cuma milik kami
semusim lagi petani tak tanam padi
tapi tanam gedung tinggi
Banyusari, 08-90
Prelude
— bagi M
seperti sebuah kesedihan
atau cemburu yang berlebihan
Bandung, 02-90
Di Jalanan Desa
di jalanan desa
kita seolah asing pada
pematang sawah dan kesiur
daunan padi
seperti lupa membayangkan
waktu kanak berlarian
menangguk ikan di
sawah bekas panenan
ataukah kita sengaja menghapuskan
sebagian ingatan
tentang pematang dan
belut-belut di lubangnya?
di jalanan desa itu
dosa kita sungguh beralasan
jalan-jalan pematang kabarnya
sudah makin berkurang
gedung-gedung menelannya
seperti kita memakan padi
yang dihasilkannya
Banyusari, 05-07-90
Lagu Kanak-Kanak 1
bulan yang gelap
ia hidup bukan karena apa-apa
tapi Tuhan meniupkan ruh-Nya
suatu saat telah kukatakan
nenek tak perlu mendongeng lagi
aku sudah besar sebentar lagi
tak percaya bulan yang hidup
dan kakek-kakek yang duduk berzikir
sepanjang waktu
Bandung
Lagu Kanak-Kanak 2
cerita yang sempat kucatat
adalah kisah manusia
yang menjelma menjadi harimau
dan tak sempat kembali
karena kutuk ibunya
cinta sudah langka, entah benar
entah tidak, aku lupa
(cuma sepatah-sepatah yang dikatakan
sahabat yang gemar memancing di tepi Musi
dengan umpan belalang)
kisah yang kucatat, doa ibu
jangan terlalu jauh berlayar ke tengah sungai
agar tak hanyut dan jadi manusia ikan
yang tak bisa kembali
Bandung
Lagu Kanak-Kanak 3
perahu yang bertumbukan di tengah
aliran air malam tanpa lentera
pernah orang-orang begitu takutnya pada
cerita hantu-hantu di lubuk
yang rambutnya panjang dan
cuma kepalanya mengapung
rambutnya hitam seperti
usus yang terburai-burai
perahu yang berlayar malam
tanpa petunjuk arah
hantu-hantu membawanya bertumbukan
Lagu Kanak-Kanak 4
tentang asap yang menyembur
dari kubur orang yang durhaka
kudengar dari cerita-cerita
waktu senja di sebuah
kuburan desa
kalaupun asap yang jadi-jadian
menyembur ke atas langit dan mengelana
menjelma hujan
ia tentu saja hujan yang buruk rupa
karena langit tak merestuinya
kalau asap yang menyembur
jatuh di para-para
ia akan jadi seonggok daun
yang kering lusuh
dan tak kentara
tentang asap yang menyembur
dari kubur orang mati
suatu ketika datang di sini
pada suatu malam dan menjelma
seonggok kertas bertuliskan
catatan dosa-dosa
Putri Danau
dalam kabut pagi atau gelap senja hari
sesekali orang menatap sang dewi
wajahnya bersinar sekejap
lalu lenyap dalam air yang gelap
(permukaan danau tetap menghitam
seperti cerita dongeng yang tak terbuktikan
hanya ingin membawa pesan pohon-pohon
yang telah tegak sekian lama
“Rengganis namanya, putri kerajaan Pajajaran”)
dalam cerah udara dan sinar matahari
daun teh berkilau karena embun di atasnya
seringkali orang menyaksikan perahu-perahu plastik
berbentuk angsa
dengan penumpang-penumpang yang tertawa
(ada putri cantik di antara mereka
murung dan tak bercahaya
tampaknya ia menanggung duka
sudah sekian ribu perputaran bumi)
permukaan danau tetap menyimpan
kerinduan sang putri, dendam para kesatria
cerita-cerita tak tertuliskan
hanya diucapkan, turunan demi turunan
sebagai kata penghantar malam
(ada seorang putri duduk di batu
pinggiran danau
wajahnya tak bahagia
sayup-sayup, menerobos bilik dan udara malam
seorang kakek mendongengkan
“ada seorang putri....”)
— bagi Yun Ts.
kesunyian ini, kekasih
taman
(bila kita tak juga bercakap
cuma bertatapan
dalam kegamangan dan pengertian
yang tak terucapkan)
cinta mulanya: kesunyian ini
lalu ikrar yang suci
“kupasrahkan rusukku demi engkau,
kekasih”
dan Tuhan meniupkan: jadilah!
maka jadilah
(saat itu, aku mungkin mimpi bulan
jatuh di pangkuan,
dan kukenal itu, kesunyian taman
yang menyejukkan)
begitulah, kekasih
bila kita tak mampu juga bercakap
biarkan saja kegamangan,
menjadi pengertian tak diucapkan.
Dalam taman itu: kesunyian
Bandung
Yang Terlupakan*)
— teringat Lilis, Edah, Rina
ingat ketika menyanyikan
: yang terlupakan
di sisi pantai, ombak berdebur
gelap hampir-hampir pekat
kenyataan indah, sahabat
seperti kenangan yang dibicarakan
di hari-hari kemudian
atau seperti kini
dalam ruang padat kesibukan
nyatanya kenangan bisa membekukan
begitu saja menghadirkan diri
kenyataan tak bisa dibuang, sayang
seperti kita diberi kenangan
suatu ketika saat melagukan
: yang terlupakan
*) Dari judul lagu karya Iwan Fals
Gadis Bermuka Bulan
— tentang gadis kekasihku
gadis bermuka bulan
dan kegenitan bunga liar dalam senyumnya
dalam matanya adalah kekuatan
: hidup adalah keindahan masa sekarang
dan harapan-harapan akan datang
gadis bermuka bulan
ia menerawang
: biarkan waktu berlarian, lenyap
di belakang
biarkan peristiwa lalu dalam catatan
berjalanlah menuju bahagia
(ya, selalu kita percaya
yang akan Ia berikan)
Bandung
No comments:
Post a Comment