Dua Kumpulan Sajak Ready Susanto (Versi Blog)

Monday, March 5, 2007

BAGIAN I. SURAT-SURAT DARI KOTA

PALEMBANG

serpih-serpih kenangan
pada keruh Musi dilayari peluh puluh biduk

sarat muatan dari hulu

yang mungkin juga dari dusun, dusunku

dusun kecil angan sepanjang hayat


jembatan megah melintang membatu

kokoh menjulur menancap pada bumi

di bawahmu terminal becek penuh lubang

yang kian kotor pada Oktober sampai April

dan anak-anak yang berteriak menjajakan dagangannya

ibu-ibu yang berebut mencari harga termurah

tukang obat yang punya obat serbaguna, termanjur di dunia

mobil-mobil berkap merah, putih, hijau, biru

cat minyak di kanvas blacu, menyatu pekat


dan sebagian masa muda

hanyut mengalir ke laut hari depan

nonton film di Makmur, hujan-hujan

mengunyah empek-empek sambil dengar musik ngamen

lagu percintaan, tembang tertua dari swargaloka


ah, Palembang!

kukenang kau kala hujan


Bandung, 28-03-86



SUATU HARI DI SELAT SUNDA

biru
biru

hanya biru

hanya ada biru

seperti hati ibu


Palembang, 06-11-85




PENGEMBARA 1
angin yang datang pelan-pelan dari

belakang

sekian ribu mil lagi

kembali

laut, pasir, gunung, dan

helai-helai rambutku

akan datang lagi

akan pergi lagi


Bandung, 25-05-87





PENGEMBARA 2

pada kabut yang

menganyam tirai dari baja

beting-beting karang yang bersekutu

membentangkan jarak dan berkata

“pulang! pulanglah!”

aku tak sempat peduli

(atau tak guna peduli)

aku bahkan sudah tak punya tonggak

untuk sekadar menambatkan perahu


Bandung, 25-05-87





PENGEMBARA 3

engkau yang menantiku di sana

di sebuah simpang jalan tanpa tak bernama

mestinya tahu

jalan bagiku adalah angan

yang muncul tiap detik


kau yang berharap di sana

di sebuah tikungan jalan tanpa tanda

agaknya mulai maklum

bahwa aku adalah

ombak

yang mendebur pada tiap denyut darah


Bandung, 25-05-87




PENGEMBARA 4

tutup sajalah semua pintu
biarkan

sampai datang dan kuketuk


(kalau pun tak terbuka

aku akan masuk

lewat hati)


hati-Mu


Bandung, 25-05-87




SURAT

di rerimbun pepohonan
kita pernah bayangkan sebuah kota yang ramai

universitas dan gedung perpustakaan yang besar.

Sebuah mimpi yang kita yakin

menjanjikan bunga-bunga,

dan barangkali juga seorang gadis manis

di sudut taman


“telah kutemukan kota yang ramai,”

kata suratmu tempo hari.

Sementara di sini tetap saja desa

dan hari ke hari berjalan biasa

anak-anak menyabit rumput dan menggembala

bapak-bapak memanggul cangkul ke sawah


“kemarin aku belajar di perpustakaan universitas

megah dan penuh buku asing

temboknya marmer dan lantainya mengkilat,” katamu.

Sementara di sini tetap saja cerita lama

sekolah desa berdinding papan

buku-buku tua kehilangan halaman

dan lantai tanah becek waktu hujan

apa lagi, pikirku

suratmu panjang lebar:

ada gadis manis di sudut taman perpustakaan

membaca buku ratusan halaman

kacamata bingkai emas dan wajahnya rembulan

(amboi, sungguh-sungguh mimpi penuh bunga, batinku)


kubayangkan sebuah kota yang ramai

gedung universitas dan perpustakaan yang besar

jalan-jalan penuh hiburan

dan terutama gadis manis di sudut taman


yang kurasa membuatmu tak ingin pulang


Bandung, 10-89





LANSKAP KUTA
— Anna

sang pejalan yang lelah
dan matahari petang di sana

ombak di kakinya

: telah kujalani semua, gumamnya

(selembut lidah buih

yang membelai kakinya)


selalu jua

(kaki langit, bukit, dan matahari pagi

menggamitnya pergi)

selembut udara yang tiba-tiba

berbisik tanpa kata

: kami rindu berjumpa!


Kuta, 14-06-89




KABUT RENDAH
— tentang Ciater

orang-orang yang lalu lalang dalam gelap

dan temaram lampu-lampu, di sini

bekerja dalam malam

dan dingin pegunungan

(sementara kabut rendah, uap air panas mengapung dari sumber-sumber yang tak pernah

henti mengalirkan)


seperti lampu-lampu, mereka kedinginan dalam udara

(cahaya kehilangan ketajaman

cuma melingkar dipeluk kabut)

seperti bukit di sekelilingnya

mereka tak bicara

kokoh dalam dingin dan gelap cuaca

— sesekali saja menawarkan rokok,

jagung rebus, ketan bakar

(beberapa wanita menawarkan

senyum yang luka

di bibir pucat, tanpa pesona)


orang-orang lalu lalang dalam temaram:

hidup ini seperti kabut!

remang-remang, tak jelas di depan sana

apa yang akan dijumpa

(Padahal kabut dan uap air panas

tak hentinya mengapung

dan sumber-sumber air terus mengalirkan)

cinta-Nya pada semua


Ciater, 1988

1 comment:

Anonymous said...

terima kasih kerana telah berusaha memblog puisi-puisi yang sudah dibukukan, bisa dinikmati di sini.

syabas buat saudara.

masuk berkunjung lewat blog steven kurniawan.